Forget me not
"Akh!" Aku memekik merasakan sakit tak tertahankan dari pergelangan
kakiku. Aku mengangkat telapak kakiku sedikit, hampir mengurungkan niat
berlatih berjalanku pasca operasi empat hari lalu.
"Jangan bilang kau ingin kembali merebahkan diri di kamar dan
membatalkan niat berlatih berjalanmu itu?" Suara itu menggema memasuki
area rehabilitasi medis. Aku tahu siapa pemilik suara itu tanpa perlu
memastikan siapa yang datang.
"Bukan begitu, hanya saja tadi rasanya sakit sekali. Tulang
kakiku rasanya seperti hancur." Aku yakin dengan suasana hati yang tidak menyenangkan ini, dahiku pasti sudah penuh dengan kerutan karena kesal.
"Jangan berlebihan. Pergelangan kakimu hanya retak, bukan
patah apalagi hancur.” Lelaki itu mendorong kursi roda kearahku sambil
tersenyum tanpa rasa bersalah.
Aku menyeringai. Bisa-bisanya seorang dokter seperti dia
meremehkan rasa sakit yang dialami pasiennya. “Berhenti meremehkanku. Kau tidak
pernah mengalaminya, kan? Jadi kau bisa dengan mudah berceloteh seperti tadi.”
“Banyak bicara tidak akan membuatmu sembuh.” Sahutnya dengan
senyum yang menyebalkan. Dia membuat gestur dengan dagunya memintaku duduk di
kursi roda.
“Ayo! kutemani berlatih berjalan di taman seperti kemarin. Sinar
matahari pagi sangat bagus untuk tulangmu.” Lanjutnya lagi sebelum aku bereaksi
apa-apa.
Pria
itu mendorong kursi rodaku sampai ke taman. Kalau boleh jujur, keberadaan pria
itu sangat membantuku sekali. Aku jadi tidak merasa bosan selama delapan belas
hari di rumah sakit, dia membawaku ke taman, ke perpustakaan kecil dekat ruang
tunggu, atau terkadang membawaku ke kolam ikan di samping rumah sakit. Dia
mengenalkanku ke sudut-sudut rumah sakit ini. Berkat pria itu aku jadi tahu
kalau berlatih berjalan boleh dilakukan dimana saja asalkan tempatnya aman.
Kursi rodaku berhenti di
salah satu sudut taman di bawah pohon yang rindang. Dia mengulurkan tangannya
untuk membantuku turun dari kursi roda. Ini bukan kali pertamanya melakukan hal
seperti itu padaku tapi aku baru menyadari sesuatu.
“Bukankah itu bunga
forget me not?” Mataku tertuju pada tato kecil bergambar bunga warna biru cerah
di pergelangan tangan laki-laki itu.
“Kau tahu bunga ini?”
Tanyanya sambil menggenggam bahuku agar aku tidak jatuh ke tanah.
“Tentu saja. Ibuku
sangat suka bunga forget me not. Dia punya satu lukisan besar bunga forget me
not di kamarnya. Dia bilang bunga itu melambangkan kerinduan yang panjang.”
Aku memulai langkah
pertamaku perlahan-lahan, rasanya masih sesakit tadi tetapi aku merasa jauh
lebih aman melakukannya disini dengan pria itu.
“Kedengarannya ibumu sangat
romantis.” Aku melirik pria itu dan mendapati dia sedang tersenyum.
“Padahal kisah cintanya dengan
ayahku jauh dari kata romantis.” Aku mendengus tanpa sadar saat ingatanku menampilkan
sosok ayah kandungku yang meninggalkanku dan ibuku saat aku masih bayi demi
wanita simpanannya.
“Benar! Tetap melangkah
seperti itu.” Pria itu menggenggam tanganku erat-erat, langkahnya mengikuti
langkahku dengan seksama.
“Kau hebat! Ibumu pasti
bangga.” Lanjutnya lagi. Kami duduk di bangku taman di bawah pohon untuk
beristirahat sebentar.
“Jangan terlalu
memaksakan diri, kau harus memberi kakimu waktu istirahat yang cukup. Berlatih
berjalan bukan soal durasi, tapi seberapa konsisten kau melakukanya.”
Bersama dengan dokter Haruto
– nama pria yang sejak tadi menemaniku, itu artinya aku juga harus bersiap
mendengarkan ceramahnya hampir sepanjang waktu kami bertemu. Sebetulnya dia
bukan pria kikuk, dia tipikal pria yang seru diajak berbincang segala hal tapi
mungkin karena profesinya sebagai dokter dia tidak bisa menghilangkan
kebiasaannya untuk tidak menasehati pasien.
“Hari ini aku tidak
melihat siapapun menjengukmu. Kemana sahabatmu itu?”
“Hari ini sedang ada
ujian di kampus kami jadi mungkin dia akan kembali menjengukku tiga hari lagi.”
Pria di sampingku mengangguk mengerti.
“Kalau begitu katakan pada
sahabatmu untuk tidak perlu menjenguk. Melihat kemajuanmu hari ini, kau mungkin
akan pulang dua hari lagi.” Dia menepuk-nepuk pundakku dengan bangga.
“Sungguh?” aku hampir
melompat kegirangan kalau saja aku tidak buru-buru ingat bagaimana keadaan
kakiku.
Dia mengangguk dengan
yakin.
“Haruto Sensei, kalau
boleh tahu apakah kau dokter senior disini? Aku tidak pernah melihatmu sibuk
seperti dokter-dokter lain.”
“Kami punya dokter magang
yang melakukan hal-hal teknis.”
Apa dia bilang? Jadi dia bukan dokter magang ?Aku sempat mengira dia adalah dokter magang
karena wajahnya yang terlihat awet muda meskipun stylenya tergolong kuno. Dia terlihat
sangat percaya diri dengan rambut curtain panjang dan bagian depan terbelah
pada sisi kanan, benar-benar terlihat seperti Keanu reeves sewaktu berumur tiga
puluhan.
“Kalau kau punya waktu
luang di hari jumat seperti sekarang kenapa kau tidak pergi berkencan?”
Dia tersenyum nyaris tertawa sambil membetulkan posisi kacamata bulatnya.
“Aku sedang menunggu
seseorang. Aku baru akan pergi setelah dia datang.” Kalimat itu diucapkan
dengan nada yang serius tapi terdengar lembut. Sepertinya seseorang itu sangat
berarti untuknya. Jika ‘seseorang’ yang Haruto sensei maksud adalah kekasihnya,
anggapanku selama ini salah. Aku mengira dia tidak memiliki kekasih karena dari
pada pulang lebih awal saat jam kerjanya selesai, dia lebih sering menemaniku selama
aku disini.
“Apa aku terlihat
menyedihkan karena tidak ada seorangpun yang menemaniku selama aku dirawat
disini?”
Aku akhirnya menanyakan
hal itu. Aku tidak merasa keberatan sama sekali ditemani dokter Haruto hanya
saja aku merasa sepertinya dia tidak perlu melakukan hal sejauh ini kalau
alasannya hanya karena aku terlihat menyedihkan.
“Aku pernah dirawat
dirumah sakit dan tidak ada yang menemaniku, rasanya benar-benar tidak menyenangkan.
Padahal aku hanya butuh seseorang untuk berbincang ringan seperti ini.” Pandangannya
menerawang seolah menilik serpihan kenangan di ingatannya.
Ponselku berdering. Aku
buru-buru menjawabnya saat melihat nama ibuku muncul di layar.
“Moshi-moshi… aku sudah
berlatih berjalan hari ini … tidak, kepalaku sudah membaik. Dokter bilang aku kini
hanya perlu focus berlatih berjalan saja … Benarkah?? Baiklah, aku tidak sabar
bertemu ibu besok.”
Aku menutup telfon dan
mengaduh kesakitan saat tanpa sadar menghentakkan kakiku karena terlalu
bersemangat mendengar ibuku akan ke rumah sakit besok.
“Kau ini bisa hati-hati
tidak sih?” Dokter Haruto memasang wajah cemas.
“Kau tahu, ibuku akan menjengukku
besok!” Tanpa sadar aku memeluk dokter Haruto. Pria itu menepuk-nepuk
punggungku seolah ikut bergembira mendengarnya. Dokter Haruto sudah tahu soal
ibuku yang sedang melakukan seminar dan penyuluhan kesehatan di Afrika. Sebetulnya
ibuku bisa saja membatalkan pekerjaannya tapi aku tidak ingin merusak mimpinya
dan menyuruhnya menyelesaikan pekerjaan itu baru menemaniku.
“Menjadi dokter di rumah
sakit internasional pasti membuatnya sibuk, tapi dia berhasil mendidik anaknya
dengan baik. Dia benar-benar ibu yang hebat. Walaupun terkadang kau sedikit
keras kepala, sih.” Dokter Haruto tertawa puas setelah mengatakannya.
Aku sudah bersiap mengangkat
tanganku ke udara untuk menghardiknya tapi aku buru-buru sadar kalau aku sedang
di rumah sakit dan apa kata orang kalau seorang pasien memukul seorang dokter?
Aku sudah berada di tempat tidur saat jam menunjukkan pukul tujuh malam. Tirai tempat tidurku disibak, aku bisa melihat seorang perawat
dan dokter Yamada menghampiriku.
Perawat tersebut melaporkan
keadaanku pada dokter Yamada, kemudian pria paruh baya itu memeriksa detak
jantungku dengan stetoskop.
“CT Scan terbaru dari
kepalamu sudah keluar dan tidak ada pendarahan lagi pasca operasi. Rontgen
tulang kakimu juga sudah bagus, Posisi pen yang terpasang sudah stabil. Kau
sudah boleh pulang besok sore, nanti akan kubuatkan jadwal control seminggu
sekali, kalau hasilnya bagus akan kuubah jadi dua minggu sekali.”
Rupanya apa yang dokter
Haruto katakan sore tadi benar-benar tepat.
“Baik, terima kasih
Yamada sensei.”
Aku buru-buru mengabari
ibuku, dia pasti akan membaca pesanku setelah sampai bandara Tokyo.
Aku duduk di kursi roda dan membiarkan seorang
perawat mendorong kursi rodaku. Ibuku berjalan di sisi kananku dengan satu tas
besar. Wanita itu sudah sampai rumah sakit saat aku bangun tidur pagi tadi. Dia
senang sekali mendengar aku bisa pulang hari ini. Dia bahkan sudah meminta
sepupunya untuk membereskan kamar tidur yang akan aku tempati di rumah lamanya.
“Pokoknya kau harus menghabiskan masa cuti kuliahmu di kyoto. Aku tidak bisa menjagamu
selama dirumah sakit jadi biarkan aku menjagamu setelah kau keluar dari sini.”
Aku mengangguk. Lift
terbuka, perawat mendorong kursi rodaku sampai ke lobby. Ibuku berjalan lebih
dulu untuk mengambil mobil, sementara itu mataku menyapu seluruh sisi lobby untuk
menemukan seseorang tapi hasilnya nihil. Pandanganku juga menelusuri sebagian
taman yang terlihat dari tempatku duduk, tapi orang yang kucari tidak ada.
Aku sangat ingin
berpamitan dengan dokter Haruto. Dia adalah orang pertama yang sangat aku ingin
beri tahu soal kepulanganku tapi hari ini pria itu benar-benar tidak bisa
kutemukan. Apa dia sibuk sekali hari ini?
“Apa kau melihat dokter Haruto
hari ini? Dia dokter yang biasa menemaniku.” Aku menoleh pada perawat
yang mendorong kursi rodaku.
“Aku tidak pernah
melihatmu dengan seseorang selain dengan seorang wanita muda yang kesini empat
hari lalu.”
Yang dimaksud perawat
itu pasti sahabatku. Semua petugas di rumah sakit ini pasti sibuk, mana mungkin
mereka memperhatikan hal sepele seperti itu.
Sebuah mobil sedan
berhenti didepanku, ibuku turun dari belakang kemudi dan membantuku memasuki
mobil. Aku tidak bisa mengartikan apa yang sedang aku rasakan, nafasku terasa
berat. Aku punya firasat kalau hari ini aku tdiak bertemu dokter Haruto
sepertinya kami tidak akan bertemu lagi di lain waktu. Aku menurunkan kaca
jendela saat mobil mulai melaju menuju pintu keluar. Ibuku melirik sedikit,
“Disini terasa pengap. Biar
kubuka jendelanya sebentar.” kataku menjawab arti dari lirikannya.
Mobil kami berhenti untuk
mengantre keluar. Saat itu mataku menangkap dokter Haruto. Pria itu berdiri di
dekat kolam ikan di samping rumah sakit.
“Haruto sensei!” Aku
menyebut nama itu nyaris tanpa mengeluarkan suara. Dia melambaikan tangan padaku
sambil tersenyum. Aku balas melambaikan tangan padanya.
“Ibu, ibu ingat soal
dokter yang aku ceritakan pagi tadi? Dia ada disana!” Aku berkata penuh
semangat sambil menunjuk sisi kolam ikan.
“Aku tidak melihat
siapapun disana.”
Aku mengikuti pandangan
ibuku dan seperti yang ia katakan, aku juga tidak melihat siapapun disana. Sepertinya
hari ini dokter Haruto benar-benar sibuk.
Aku memaksa untuk tidur di kamar belakang – kamar masa
muda ibuku, meskipun ibuku sudah membujukku untuk tidur di kamar depan dengannya.
Aku merasa lebih senang menghabiskan waktu sendiri di kamar meskipun dalam
keadaan sakit seperti sekarang.
Aku membuka laci meja
belajar ibuku dan menemukan bertumpuk-tumpuk buku mata kuliahnya dua puluhan
tahun silam. Ibuku sempat pindah universitas jadi tidak heran buku kuliahnya
ada banyak sekali. Selain buku mata kuliah, aku juga menemukan catatan harian
ibuku selama ia menjadi dokter magang.
Pintu kamar terbuka,
ibuku masuk dengan sepiring dango dan susu hangat. “Sudah lama sekali aku tidak
melihat foto itu.” Kata ibuku setelah menilik apa yang aku lihat.
“Bukankah ini rumah
sakitku kemarin?”
Aku melihat sebuah foto yang menampilkan beberapa orang di dalamnya. Aku hafal
sekali karena foto ini diambil di depan perpustakaan dekat ruang tunggu.
“Ibu pernah jadi dokter
magang disana sebelum ibu pindah kampus ke Kyoto university. Padahal saat itu
adalah masa-masa yang sangat menyenangkan bagiku. Saat aku kembali ke rumah
sakit itu pagi tadi, rasanya sangat rindu sekali. Meskipun aku tidak bertemu satu
orang pun difoto itu.”
Aku melihat-lihat foto
lain. Dalam foto yang banyak itu, ibuku selalu tersenyum lebar. Ibu benar-benar
terlihat bahagia saat itu. Dari sekian banyak lembar foto, tanganku mengambil
sebuah foto yang didalamnya ada foto ibuku dan seorang pria.
“Ini..” Mataku melebar
mengenali wajah pria difoto itu.
“Ah dia mantan pacarku
dulu. Dia seorang dokter residence yang sangat baik hati. Hari saat aku berhenti
menjadi dokter magang seharusnya aku menemuinya di rumah sakit. Tetapi karena
nenekmu memaksaku untuk menemui ayahmu di acara perjodohan, aku jadi tidak bisa
menemui pria itu.”
Aku terdiam sebentar.
“Kenapa ibu tidak menemuinya
keesokan harinya?”
“Dia meninggal sehari
setelah kecelakaan esok harinya. Selain menikahi ayahmu, penyesalan terbesarku
yang lain adalah karena tidak menemuinya.”
Aku menatap wajah ibuku,
matanya berkaca-kaca.
“Siapa nama pria itu?”
“Haruto Eiji. Dia juga
yang mengenalkan bunga forget me not padaku. Dia punya tattoo kecil bergambar
bunga forget me not di pergelangan tangannya.”
Dadaku tercekat. Eiji
Haruto, nama yang sama yang tersemat di jubah putih dokter Haruto. Aku memandang foto itu sekali lagi, wajahnya, gaya rambutnya yang mirip keanue reeves, kacamata bulatnya yang kuno dan tatto di pergelangan tangannya. Ini terlalu mirip untuk disebut kebetulan. Konyol! Ini sungguh
konyol! Tanpa sadar pipiku sudah basah oleh air mata.
“Apa karena itu ibu
tidak menikah lagi walaupun sudah bercerai selama delapan belas tahun?”
Ibu hanya tersenyum sambil memelukku.
Meskipun terlambat, setidaknya ibu sudah menepati janji itu kemarin. aku salah kalau mengira kisah cinta ibuku tidak romantis, seseorang tetap setia menunggumu selama dua puluh tahun, kurang romantis apa lagi?
Komentar
Posting Komentar