Megumi

source image

 

Aku sudah tergabung dalam barisan saat seorang gadis berlari tergopoh-gopoh memasuki area pool dengan seragam renangnya. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi aku merasa mata gadis itu tersenyum menatapku. Aku melempar pandanganku ke arah lain, tidak ingin membiarkan dugaanku menjadi-jadi, sedetik kemudian aroma fruity yang menyegarkan meruak ke dalam hidungku. Seketika hatiku berdebaran tidak karuan.

"Hai! Kita bertemu lagi." Suaranya yang lembut menembus telingaku, aku merasa bunga sakura dihatiku bermekaran meskipun musim semi belum tiba. 

"Kau terlambat," Aku tertawa kecil. Namanya Megumi. Kami berdua di kelas yang sama pada pelajaran olahraga dan bahasa inggris. Kedekatan kami bermula saat aku membantunya melakukan sit up ketika dia hampir tidak mendapatkan pasangan untuk melakukan itu, setelah kejadian itu, dia membantuku dalam pelajaran bahasa inggris. Lalu hubungan kami berlanjut seperti simbiosis mutualisme. Aku pandai olahraga, tapi bodoh dalam bahasa inggris dan dia sebaliknya. 

Megumi memasuki kolam renang dengan tubuh mungilnya, lehernya terlihat jenjang dengan model rambut diikat bun. Ia membiarkan anak rambut didekat telinganya tergerai bebas. Aku nyaris tidak bisa melepaskan pandanganku dari wajah cantik itu dan memutuskan untuk berenang menuju tepi kolam di ujung sana.

Aku keluar dari air, mengusap wajahku dan saat membuka mata, wajah Megumi hanya berjarak lima sentimeter di depanku. Aku terperanjat dan hampir jatuh dengan konyol.

“Haha” Megumi tertawa lalu berkata, “Rupanya kau juga jago berenang.” Dia menutup kalimat itu dengan senyum tanpa menarik mundur se inchi pun wajahnya dari wajahku. Aku melempar wajahku kearah berlawanan, tidak ingin ia tahu kalau aku merasa sesak nafas seketika.

“Ajari aku berenang ya.” Ia merajuk, tangannya menarik bajuku.

“Sudah kuduga, pujianmu itu pasti ada maunya, kan?”

Megumi terkekeh. “Aku akan mengajarimu mata pelajaran bahasa inggris halaman tujuh puluh tujuh, kau bilang masih belum memahaminya kan?”

Padahal dia tidak perlu menjabarkan bayarannya, aku pasti tidak akan menolak apapun yang dia minta.

Dia memasuki kolam renang, bajunya yang basah membuat bentuk tubuhnya terlihat jelas.

“Lihat aku. Kau harus berdiri seperti ini, lekukan kakimu ke depan lalu dorong dinding kolam renang. Setelah itu kau harus gerakan kakimu seperti saat aku berenang.”

Kening Megumi berkerut, raut mukanya berubah cemas.

“Tenang saja, aku akan memegang kedua tanganmu seperti ini.” Aku meraih kedua telapak tangan Megumi yang halus, lalu memandunya perlahan-lahan.

“Satu.. dua.. tiga!”

Karena terlalu panik, tubuh gadis itu terlalu banyak bergerak dan membuatnya tetap ditempat alih-alih melaju kedepan.

“Ini benar-benar sulit!” Gerutunya dengan nafas terengah-engah. “Aku tidak bisa menahan nafasku terlalu lama di dalam air.”

“Hei, it’s okay. Kau tadi tidak tenggelam dan itu awal yang bagus untuk pemula. Lagipula, siapa bilang kau harus menahan nafas lama-lama di dalam air? Kau bisa mengambil nafas sesekali saat kau bisa mengeluarkan wajahmu dari air.” Aku menggenggam kedua bahunya yang turun naik karena kesal.

“Bagaimana kalau aku tetap tidak bisa?”

“Aku akan terus mengajarimu.” Aku mengatupkan kedua telapak tanganku dipipinya yang kenyal.

Kami melakukannya lagi beberapa kali, setidaknya sampai syarat penilaian terpenuhi. Berenang sampai titik tertentu tanpa tenggelam dengan gaya apapun.

                Saat penilaian sudah selesai, kami masih punya banyak waktu untuk menghabiskan jam pelajaran olahraga. Aku suka berenang jadi aku tetap disini, alasan lainnya adalah karena Megumi juga masih disini.

Aku baru keluar dari toilet saat melihat Megumi sedang duduk di tepi kolam renang dengan Ryosuke. Aku tidak mendengar apa yang mereka perbincangkan tapi sepertinya hal itu menyenangkan bagi Megumi. Dia banyak tertawa di samping Ryosuke.

“Sebenarnya akhir-akhir ini aku memperhatikan Ryosuke, selain tampan, dia pernah membantuku membereskan bola voli saat Pak Yamada menyuruhku melakukannya karena aku terlambat. Dia baik kan?” Kalimat yang diucapkan Megumi padaku saat jam istirahat beberapa waktu lalu tiba-tiba menggema di kepala. Aku lupa mulanya kami sedang berbincang soal apa lalu tiba-tiba sampailah di titik Megumi mengatakan kalimat seperti itu. Aku juga ingat hari yang Megumi maksud saat Pak Yamada memintanya membereskan bola voli, aku juga ingin membantunya tapi aku harus pergi ke UKS karena kakiku terkilir. Punya wajah tampan benar-benar sebuah keistimewaan, tidak peduli seberapa banyak aku membantu Megumi, gadis itu tidak akan menatapku dengan cara yang sama seperti ia menatap Ryosuke kan?

Aku sudah menyukai Megumi sejak hari pertama kami kelas sepuluh. Meski hubungan kami mengalami kemajuan di tahun kedua, tapi aku yakin hubungan ini tidak akan bergerak lebih jauh dari sekedar pertemanan jika Megumi tidak memiliki perasaan yang sama sepertiku.

Aku sedang mengurai gulungan selang air dari tempat penyimpanan ketika terdengar suara berdecit. Rupanya suara itu dari kaki Megumi, Ia berlari kecil sampai hampir tergelincir karena air yang menetes dari bajunya yang basah.

“Aku sungguh tidak akan menolongmu kalau kau sampai jatuh gara-gara ceroboh seperti tadi.” Setelah mendengar omelanku, Megumi meringis, memperlihatkan deretan giginya yang rapi sambil tertawa kecil seperti anak kecil. Tanganku memutar tuas keran untuk membiarkan airnya mengalir.

“Biar aku saja! Pak Yamada akan marah kalau aku tidak melaksanakan hukumanku dengan benar.” Gadis itu meraih ujung selang dan mulai menyiramkan air ke lantai tepi kolam. Aku mengambil sikat gagang panjang dan mulai menggosok-gosokkannya pada lantai yang Megumi siram. Mendengar Megumi mendapat hukuman lagi oleh Pak Yamada, tentu saja aku tidak mungkin membiarkannya melakukan segalanya sendiri.

“Hei, kau tahu tidak?” suara Megumi bercampur dengan suara gemericik air dari selang.

“Tidak." Jawabku acuh, Megumi menyeringai.

“Aku tadi berbincang dengan Ryosuke, dia suka olahraga terutama berenang dan sepertinya dia menyukai wanita yang pandai olahraga juga.” Nada suaraya menurun, seolah-olah hatinya terasa berat.

“Lalu?” Aku tidak suka topik pembicaraan kali ini tapi baiklah, aku akan berusaha semampuku.

“Sepertinya dia tidak menyukaiku. Sepertinya tidak ada orang yang menyukaiku, aku tidak tinggi, tidak pandai olahraga. Kau sendiri, suka orang yang seperti apa?”

Gagang sikat di tanganku masih bergerak maju mundur tapi rasanya seperti aku tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh.

“Kalau begitu aku akan menyukai orang sepertimu.” Aku agak terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan, sekalipun aku tidak pernah berniat mengatakannya. Kalimat itu meluncur begitu saja.

“Kau ini, Aku benar-benar sedang gelisah. Kalau sampai dewasa nanti tidak ada yang akan menikahiku karena aku hampir bodoh dalam segala hal kecuali Bahasa inggris, bagaimana nasibku.”

“Aku juga akan menikahimu.”

Cukup! Aku hampir gila dengan mengatakan hal-hal seperti itu pada Megumi. Bukannya berempati tapi aku malah menyahuti asal-asalan ucapannya.

Kami terdiam. Aku menuju ruang peralatan untuk mengambil serokan air. Tepat ketika aku keluar dari ruangan, Megumi sudah ada di depan pintu saat aku membukanya.

“Janji?” Dia mengacungkan jari kelingkingnya dengan mata yang memerah dan sembab. Apa gadis itu tadi benar-benar menangis? Oh tidak! Dan aku malah bermain-main bukannya peduli pada perasaannya. Aku menautkan jari kelingkingku kemudian dia menarikku dalam pelukannya. 

                Aku membaca berulang kali nama yang tertera di kartu undangan pernikahan. Megumi Yoshida. Sepuluh tahun berlalu sejak hari kelulusan kami tapi aku sama sekali belum menemukan penganti gadis itu di hatiku. Kami masih berteman sepanjang sepuluh tahun terakhir bahkan lebih dekat dari semasa sekolah. Aku tidak terkejut soal undangan pernikahan ini karena gadis itu juga yang mengatakan padaku kalau dia memutuskan untuk menikah. Tapi saat hari ini tiba, hatiku rasanya sesak sekali. Rasanya berkali kali lipat lebih sakit dibanding saat memergoki Megumi duduk di tepi kolam dengan Ryosuke.

Aku sudah duduk diantara tamu undangan, ruangan yang didominasi warna putih itu terasa seperti mengintimidasiku secara personal. Seolah-olah memberi tanda bahwa aku tidak berhak atas Megumi lagi setelah acara ini berlangsung. Leherku tercekat. Kalau dipikir-pikir aku pernah mengungkapkan perasaanku saat kami sedang membersihkan area kolam seusai berenang sebelas tahun lalu tapi kenapa rasanya perasaan ini seolah tidak tersampaikan? Atau karena perasaanku semakin besar semakin berjalannya waktu? Tapi apakah aku saat itu sudah mengatakan perasaanku dengan benar? Atau karena aku tidak mengatakannya dengan sungguh-sungguh sehingga membuat Megumi tidak mengerti maksudku?

Benar! Peristiwa itu tidak bisa dibilang sebagai pengungkapan perasaan. Dia sama sekali tidak tahu apa yang aku rasakan. Tapi bagaimana kalau aku mengatakan padanya sekali lagi? Tapi kali ini dengan benar. Aku tahu hal itu tidak akan mengubah apapun, aku tidak akan pernah memiliki Megumi. Tidak peduli kapan aku mengungkapkannya, sepuluh tahu lalu, lima tahun lalu, kemarin, hari ini atau besok. Hasilnya sama saja bukan? Sepertinya aku harus melakukannya hari ini.

Suara musik mengalun. Aku melihat Megumi dengan gaun putihnya yang mengular. Dia semakin cantik. Lebih cantik dari sepuluh tahun silam. Aku bersumpah akan membunuh pria yang dinikahi Megumi kalau ia sampai melukai Megumi yang secantik bidadari itu.

Aku mendekati Megumi setelah sumpah dan janji pernikahan terlaksana. Rasanya langkah kakiku terasa begitu berat, kami sudah bersama sepuluh tahun lebih dan rasanya seperti Megumi akan meninggalkanku begitu jauh. Aku tidak bisa melihat Megumi dengan jelas karena air mata sudah menumpuk di pelupuk mataku. Tepat saat aku sampai di depan gadis itu, aku dipeluknya erat-erat. Jauh lebih erat dibanding saat dia memelukku sebelas tahun silam.

“Risa-chan!! Aku baru sadar kau bisa secantik ini saat mengenakan dress”

Megumi melepaskan pelukannya. Matanya berkaca-kaca, sedangkan air mataku sudah bercucuran membasahi gaun biru cerahku. Megumi menghapus air mataku.

“Aku senang akhirnya kau bisa memiliki orang yang kau sukai.” Aku melirik Ryosuke – pengantin pria yang berdiri di samping Megumi.

“Tetap jadi temanku sampai kapanpun ya?”

Megumi menatap kedua mataku lekat-lekat seolah-olah bisa melihat rasa takut yang aku rasakan. Rasa takut tidak bisa bertemu Megumi lagi. Rasa takut tidak bisa menghabiskan waktu dengan Megumi lagi. Rasa takut tidak bisa melihat Megumi tertawa karenaku lagi.  Aku mengangguk tapi air mataku semakin deras. Kemudian aku sepakat pada diriku sendiri untuk membatalkan niat gilaku tadi.

                Sebuah notifikasi muncul diponsel pintarku keesokan harinya. Megumi menandai akun media sosialku di unggahannya. Isinya foto kami berdua, Megumi dengan gaun pengantin putihnya yang menawan dan disampingnya aku sedang memaksakan senyum yang lebih mirip orang sakit gigi. Aku mendesah setelah membaca keterangan difoto itu.

 

Gadis ini beruntung. Akhirnya seorang pria menikahiku jadi dia tidak perlu menepati janji konyolnya untuk menikahiku – janjinya sepuluh tahun silam saat aku patah hati untuk pertama kalinya :D

 

Tidak, Megumi. Aku tidak beruntung sama sekali. Sungguh.

 

 


 

 


Komentar

Postingan Populer