Coffe x Milk

 




Gue bukan anti sosial tapi gue nggak suka acara yang penuh keramaian seperti sekarang. Sudah enam bulan gue kerja di head office salah satu perusahaan distributor di Jakarta dan gue nggak mungkin tidak ikut acara yang selalu diselenggarakan perusahaan ini di setiap tahunnya, yaitu makan malam diakhir tahun.

Gue celingukan mencari kursi kosong tapi berapa kalipun mata gue memutari seisi ruangan, kursi sudah terisi penuh. Hampir tidak ada yang menyadari kalau gue nggak kebagian kursi sampai suara perempuan berseloroh membuat gue reflek memalingkan wajah.

"Cil! Sini duduk berdua gue! Gue juga tadi nggak kebagian kursi dan ambil kursi ini sendiri dari luar. Sayangnya diluar udah nggak ada kursi lagi." Hanya dengan dengar cara dia manggil, gue langsung tahu siapa yang memanggil gue tanpa harus menoleh. Cewek itu menurunkan tangannya yang tadi melambai tapi nggak memudarkan senyumnya sampai gue balas dengan senyum juga. Beberapa detik kemudian gue menatap kursi yang Kak Melfi - wanita yang tadi berseru - duduki ternyata lebih besar dan tampak tidak serasi dengan kursi yang lain. Gue tersenyum lalu mendekat sambil memasang ekspresi awkward, "Nggak apa-apa nih?" Wanita itu menggeser posisi duduk sambil menepuk-nepuk tempat dimana gue harus duduk. "Kayak sama siapa aja." balasnya lagi masih dengan bentuk senyum yang sama. 

Kak Melfi salah satu orang pertama yang menyambut gue dengan hangat saat hari pertama gue mulai bekerja."Hai, Gue Melfi! Jangan bosen-bosen kalau nanti gue sering minta bantuan lo karena printer disini sering bermasalah." Katanya waktu itu sesaat setelah HRD memperkenalkan gue sebagai IT Junior, Kak Melfi menjabat tangan gue dengan senyum cerah nan tulus di wajahnya. 

Makan malam kali ini diadakan disalah satu hotel di jakarta selatan, untung saja hiruk pikuk suara klakson karena kemacetan diluar sana nggak kedengaran berkat meeting room yang kedap suara ini. Sesi pidato yang menyebalkan sudah selesai, akhirnya tiba juga sesi yang gue tunggu-tunggu. Gue dan karyawan lainnya berbaris untuk mengambil makanan prasmanan yang sudah disediakan. Saat gue kembali ke kursi, Kak Melfi sudah lebih dulu duduk di sana dengan sepiring makanan di depannya. 

Gue tertegun sejenak menatap makanan Kak melfi, seolah bisa membaca pertanyaan di benak gue perempuan itu tiba-tiba berseloroh, "Porsi makan gue emang harus banyak biar bisa ngejar tinggi badan lo." Gue tertawa kecil nggak menyangka sama apa yang barusan perempuan itu katakan. 

"Bukannya tinggi manusia dewasa itu berhenti di usia 25 tahun ya?" Gue menyahuti candaan Kak Melfi, dan kali ini sesuai dugaan gue, perempuan itu memasang wajah cemberut yang dibuat-dibuat. "Serius bawa-bawa umur?" 

Gue mengeluarkan jurus pamungkas untuk membuat wajah cemberut itu jadi tersenyum lagi, gue meletakkan segelas susu di hadapannya. "Nih, asupan biar Kak melfi tambah tinggi." Gue tahu Kak Melfi suka banget susu karena hampir setiap pagi di kantor gue selalu lihat dia sedang minum susu kotak UHT sambil mengetap kartu masuknya di sistem kontrol akses.

Kedua mata kecil Kak Melfi melebar antusias. "Kok bisa dapet? Tadi pas gue mau ambil di pitcher udah abis."

Gue menahan tawa karena gue adalah orang terakhir yang mengambil susu itu. Gue baru saja mau memulai suapan pertama gue saat tangan Kak Melfi melintas di dekat piring sambil meletakkan segelas kopi susu.

"Tadi pas tahu kehabisan susu, Masnya ngasih gue kopi. Lo suka kopi nggak?"

"Suka banget. Gue udah ngopi tiga kali hari ini, sama ini jadi empat kali." 

"Kayanya kalau gue sayat tangan lo yang keluar kopi deh bukan darah." 

This! Gue suka Kak Melfi yang sarkastik dengan raut wajah yang jutek kayak tadi. Kayaknya gue suka semua jenis ekspresi wajah Kak Melfi, dari jutek sampe senyumnya yang superduper manis. Gue nggak peduli sama umur kita yang terpaut lima tahun, lagi pula jaman sekarang siapa sih yang peduli soal umur selagi dia bukan istri orang? Eh tunggu-tunggu! Kok gue jadi ngelantur gini yak?

Gue melihat Kak Melfi berdiri di dekat lobby seusai acara, gue tidak berniat untuk menghampirinya atau sekadar basa-basi untuk mengantarnya pulang karena ada sesuatu yang menarik perhatian gue. Pria berkemeja warna hitam dengan celana jeans warna biru tua berjalan secara garis lurus dari tempat dimana Kak Melfi berdiri dan gue yakin seratus persen mereka pasti berencana pulang bersama. 

Adrian, nama pria itu. Gue memang sempat dengar desas-desus soal mereka berdua tapi gue yakin keduanya nggak punya hubungan apa-apa karena gue tahu Adrian bukan cowok baik-baik. Dia bukan tipe cowok yang akan dengan mudah kasih kepastian ke cewek, dia cuma sekedar tebar jaring. Gue jelas mengenal Adrian lebih banyak dari pada Kak Melfi mengenal dia, Adrian adalah Kakak tingkat gue dikampus yang sudah lebih dulu bekerja disini selama satu tahun. Dari kacamata gue, gue yakin Kak Melfi juga nggak akan dengan mudah tertarik sama Adrian dan memang seharusnya jangan. Mungkin ini egois tapi gue merasa kalau memang Kak Melfi tertarik dengan salah satu cowok di kantor ini, cowok itu harusnya gue. setidaknya itulah yang gue inginkan. 

       Gue ke pantry berniat membuat secangkir kopi tapi telinga gue lebih dulu menangkap suara seorang wanita dan pria yang sangat familiar. Gue terus melangkah pura-pura nggak peduli walaupun dalam hati gue mengutuk keberadaan salah satu diantara mereka, Adrian. 

Keduanya masih mengobrol, gue nggak terlalu memperhatikan tapi gue menangkap kesimpulan kalau mereka mau hange out sepulang kerja. 

"Cil, tadi PC gue tiba-tiba lemot banget. Nanti minta tolong di cek ya. "

Gue enggan menoleh tapi gue nggak mungkin mengabaikan ucapan Kak Melfi, 

"Nanti setelah gue cek wifi lantai satu, gue ke tempat lo ya kak."

"Santai."

Gue jadi bisa melihat dengan jelas bagaimana posisi keduanya berdiri. Mereka cuma berhadapan di depan lemari es sambil bergurau seperti yang biasa Kak Melfi lakukan ke orang lain tapi kalau melihat Kak Melfi melakukan itu ke Adrian rasanya ada yang aneh. Semoga firasat gue salah. 

satu jam berlalu, ketika gue melewati lantai dua hendak ke ruangan Kak Melfi yang ada di lantai empat, seseorang manggil gue. 

"Jordy, proyektor di ruang meeting mati. Coba lo liat deh" 

Nida - anak marketing yang baru bekerja dua bulan, melongokkan kepalanya dari ruang meeting. Gue menelisik masuk dan mendapati Adrian duduk di salah satu kursi disana. 

"Seru kak, Aku udah nonton animasinya. Nggak sabar mau nonton live actionnya nanti malem."

Nida terdengar melanjutkan percakapan yang tadi terjeda gara-gara harus manggil gue. 

"Kamu mau nonton dimana? Aku juga pengen banget liat toothless. Kemarin liat trailernya cukup menarik."

"Bintaro kak, biar deket rumah." 

 "Serius rumah kamu di Bintaro? Sektor berapa? Rumahku juga di Bintaro. Mau nonton bareng nggak nanti malem? Sebelum nonton mampir ke Kimukatsu dulu yuk, kamu katanya suka ramen, kan?"

Dasar buaya! Muak banget gue denger cara bicara Adrian yang dibuat-buat sok antusias itu. 

"Udah nyala nih. Kalau ada kendala panggil gue lagi aja ya." Gue meninggalkan keduanya setelah Nida berterima kasih.

Kak Melfi tidak ada di meja saat gue sampai di ruangan. Gue bersimpuh di bawah meja Kak Melfi sembari membongkar salah satu sisi CPU mencoba mencari tahu apakah penyebab lemotnya perangkat ini ada di salah satu bagian CPU atau bukan. 

"Butuh bantuan? " Kursi kak Melfi digeser, wanita itu mengarahkan lampu ponselnya ke arah gue. Benar-benar ke arah gue. 

"Gue tau sih Kak muka gue juga gelap tapi kayaknya lebih berguna kalo cahayanya di arahin ke CPU deh. " 

Kak Melfi ketawa puas, nggak peduli sama gue yang mengarahkan tangannya agar menerangi bagian CPU. 

"Lucu banget sih lo." 

Untung saja posisi gue membelakangi Kak Melfi, gue nggak bisa bayangin kalau dia sampai melihat raut wajah gue yang setengah mati nahan senyum abis di puji 'lucu' sama dia. 

"Beres. Tadi VGA nya agak kendor tapi sekarang udah beres. "

Kak Melfi masih duduk di bangkunya, disampingnya ada gue yang berdiri sedikit membungkuk untuk mengetest beberapa aplikasi dan membuktikan apa yang gue ucapkan. 

"Nggak paham gue, tapi gue percaya sama lo. Next time gue traktir kopi deh."

"Aduh, jadi enak. Semoga sering-sering rusak deh PC lo kak biar gue ditraktir terus." Kak Melfi hendak memukul bahu gue tapi gue mengelak dan berhasil kabur.

      "Americano Ice satu, no sugar, reguler aja. Dine in ya mas." Gue menyelesaikan pembayaran dengan Qris dan duduk di salah satu bangku dekat jendela. Cafe baru ini bakal jadi langganan gue kalau kopinya enak. Selain harganya terjangkau, lokasinya juga ada di lobby, benar-benar perfect. Gue memandangi orang-orang yang berbondong-bondong keluar dari lobby, diluar langit mulai gelap. Semua orang pasti ingin buru-buru pulang kalau jumat malam begini.

"Gue tebak pasti lo pesen kopi pahit." Gue nggak bisa menyembunyikan senyum saat tahu siapa yang datang.

"Disini nggak ada menu yang pure susu jadi gue nggak tahu tebakan gue bener atau nggak, lo pasti pesen menu smoothies?" Kak melfi menarik kursi bar dan duduk di samping gue, kami sama sama menghadap keluar jendela.

"Gue pesen americano tapi pake gula." dia meringis. Dilihat dari gerak-geriknya Kak Melfi nggak terlihat buru-buru sama sekali. Ia malah terlihat senggang. Tunggu! Bukannya tadi Kak Melfi dan Adrian mau hange out ya? Gue hampir melakukan hal bodoh dengan bertanya langsung soal itu ke Kak Melfi tapi untung saja bagian otak gue yang lain menampilkan ingatan soal obrolan Adrian dan Nida siang tadi. 

"Lihat deh! Orang-orang mau pada kemana sih buru-buru banget." Gue menaikan dagu ke arah jendela.

"Mau ngedate lah. Emangnya lo?" Kak Melfi ketawa, gue hanya melirik sebentar dan dia langsung menangkap apa yang gue maksud.

"Oke oke, maksudnya kita."  Dia menghentikan tawanya lalu melanjutkan lagi, "Kita nggak semenyedihkan itu kok. Orang asing yang lihat kita disini juga ngiranya kita lagi ngedate."

Gue tahu kalimat itu nggak berarti apa-apa, tapi hati gue nggak bisa bohong. Gue seneng kalau emang orang-orang disekitar gue ngira kalau kami berdua pacaran meskipun aslinya nggak sama sekali. 

"Gue kira lo nggak suka kopi." Gue menyesap es amerikano di depan gue yang diikuti oleh Kak Melfi.

"Gue suka banget kopi sampe sekarang, sayangnya gue udah nggak bisa minum kopi sesering dulu. Gue punya sakit lambung."

"Ah I see, gue turut prihatin. Terus kenapa sekarang lo minum kopi?"

"Lagi pengen bandel aja." Dia ketawa, "Berarti dimata lo gue bandel tiap hari dong?" gue buru-buru menyela tawanya.

"Belum bandel. Kan belum kena penyakit asam lambung akut kaya gue." 

Sumpah mulut gue gatel banget pengen bilang apa yang terjadi sama Adrian dan Nida siang tadi, gue yakin hal itu pula yang jadi alasan Adrian batalin janji sama Kak Melfi malam ini. Gue punya hak nggak sih ikut campur? Atau gue hanya peringatin Kak Melfi aja biar hati-hati sama Adrian? Gimana pun juga gue nggak rela orang seriang ini dibikin kecewa sama Adrian dikemudian hari. 

"Lo malam ini nggak kemana-mana kak?"

"Tadinya gue mau jalan sama Adrian tapi gue batalin." Gue melongo dengernya. Sepertinya dia emang tahu kemana arah pembicaraan gue.  

"Lo batalin bukan karena mau minum kopi disini kan? Karena gue perhatiin, lo kayak lagi senggang."

"Guenya yang senggang, dianya enggak."

Kak Melfi mengaduk kopinya, lalu menyesapnya dengan tatapan mata menerawang menembus jendela.

Gue tahu gue nggak punya hak untuk ikut campur masalah cinta orang lain tapi gue akan melakukan ini sebagai teman. Yak, benar! gue nggak mau teman gue dipermainkan.

"Kak, gue nggak paksa lo untuk ikutin apa yang mau gue katakan, lo boleh deket sama siapapun di kantor ini tapi please jangan sama  Adrian." 

Melfi melempar pandangannya ke arah gue lalu tertawa terbahak-bahak. "Gue gampang ketebak, ya?" kalimat itu membuat tawanya terdengar menyedihkan.

"Gue juga bingung sama diri gue kenapa gue selalu jatuh cinta ke orang yang nggak bener. Banyak yang peringatin gue soal Adrian termasuk Bang Aldo atasan lo tapi gue denial ke dia kalau gue ada rasa ke Adrian. Ternyata lo juga sadar soal itu."

Sialan! Sakit banget hati gue dengernya. Gue nggak expect mendengar Kak Melfi ungkapin perasaannya soal Adrian ke gue. Bukan gini skenario seharusnya, kan? Harusnya Kak melfi nggak beneran suka sama Adrian, kan? Atau harusnya gue peringatin Kak Melfi lebih dini sebelum dia beneran suka? Aarrggh~

"Liat lo punya asam lambung akut dan minum kopi disini, bikin gue nggak heran kenapa lo masih suka sama Adrian walaupun dia brengsek. Masing-masing gagasan tadi punya satu kesamaan, sama halnya seperti lo sengaja masukin racun ke tubuh lo."

Kak melfi meringis, bukan respon yang ingin gue lihat. Dia memegangi perutnya kesakitan dan mulutnya menunjukan gelagat ingin memuntahkan sesuatu.

"Gokil! Asam lambung gue langsung kumat pas denger ucapan lo."

Dia langsung lari ke arah toilet. tiga belas menit berlalu, Kak Melfi kembali dengan langkah sedikit terhuyung dengan wajah pucat dan keringat dingin yang mengalir di pelipis.

"Kayaknya gue nggak kuat deh, gue harus ke klinik." Dia mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi ojek online.

"Ayo!" Gue merebut ponsel itu dan merengkuh bahunya agar sisi bahu lainnya merapat ke bahu gue. Setidaknya dengan begini, langkahnya yang limbung bisa lebih terarah tanpa harus terjatuh.

        Gue terbangun saat punggung gue mulai terasa pegal. Gue melihat cairan infus tergantung tak jauh dari tempat gue duduk dan di depan gue Kak Melfi tertidur dengan alat bantu nafas di hidungnya. Sesaat kemudian gue ingat apa yang baru saja terjadi. Wanita itu tiba-tiba merasa sesak nafas saat kami berdua sedang berada di atas motor. Gue nggak sempat menemukan klinik tapi untung saja ada rumah sakit di dekat kantor dan gue langsung membawanya ke IGD. Gue semakin panik saat Kak Melfi mulai tidak sadarkan diri. Seumur hidup gue nggak pernah panik sampai-sampai kepala gue pening kayak tadi. Syukurlah, nasib baik masih berpihak sama gue.

"Gue nggak akan biarin lo minum kopi lagi sampe kapanpun, Kak!" Gue mengeratkan genggaman tangan gue pada tangan Kak Melfi yang sejak tadi belum gue lepaskan.

"Gue.. juga.." Suara itu terdengar lirih tapi gue bisa mendengarnya dengan jelas. Kak Melfi membuka matanya sedikit terus tersenyum.

"Sorry Kak, gue ganggu tidur lo ya? Sshh sshh sshhh, tidur lagi gih. Lo harus banyak istirahat malam ini." Gue terbangun dari kursi, mendekatkan wajah gue ke wajah Kak Melfi untuk memastikan kalau dia sudah baikan. Tanpa sadar pandangan gue mulai kabur, leher gue tercekat dan nggak bisa mengendalikan air mata yang keluar dari mata gue.

"Gue juga... gue juga ngga akan.. masukin racun lagi.. ke tubuh gue." Kalimatnya terdengar putus-putus tapi cukup dapat gue pahami. 

"Anak pinter, gue nggak sanggup lihat lo kayak tadi Kak. Rasanya kaya gue mau mati tau nggak." Gue tertawa tapi air mata gue masih netes. Gue benar-benar nggak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Banyak hal melintas di benak gue saat Kak Melfi tidak sadarkan diri. Bagaimana kalau dia kenapa-napa? Gue belum lama kenal dia dan gue nggak mau hal buruk terjadi sama Kak Melfi. Gue masih ingin menghabiskan waktu lebih lama sama dia. Gue masih ingin ngomongin hal-hal receh sama dia, gue masih ingin melihat senyumnya, melihat wajah juteknya. Gue juga ingin dia tahu apa yang gue rasakan. 

Rupanya gue salah, ada ekspresi wajah Kak Melfi yang gue nggak suka. Gue nggak suka lihat dia kesakitan dan nggak berdaya seperti tadi. Rasanya kayak dia nggak akan membuka matanya lagi selama-lamanya. 

       Gue sedang merapikan kabel lan di ruang finance setelah diutus oleh Bang Aldo. Ini adalah hari pertama Kak melfi masuk setelah tiga hari tidak masuk karena asam lambungnya naik saat minum kopi bareng gue.

"Lo nya aja yang cari mati, lo punya asam lambung akut, perut lo kosong dari pagi dan lo malah minum amerikano? Udah gila lo kak asli." Hanya ada gue dan Kak Melfi di ruangan ini jadi gue merasa lebih leluasa membahas apa yang terjadi kemarin. Gue menyahuti dengan nada yang berapi-api setelah dia lebih percaya kalau asam lambungnya kumat gara-gara dia banyak pikiran. 

"Jangan galak-galak dong, gue takut." 

Gue tersenyum geli sekaligus bahagia bisa melihat lagi wajah cemberut yang dibuat-buat itu. 

"Tapi thanks ya, gue nggak tahu kalau nggak ada lo disitu bakal gimana gue." Kali ini nada suara Kak Melfi berubah serius. Gue mendekati mejanya, mengembalikan gunting yang tadi gue pinjam.

"Kalau sesuatu terjadi sama lo kemarin, apa jadinya orang-orang yang sayang sama lo? Mereka pasti sedih banget. Jadi please, jangan bodoh kayak kemarin." Ya, Benar. Apa jadinya gue kalau sesuatu yang buruk terjadi sama Kak Melfi kemarin? Gue benar-benar memohon dari hati gue yang paling dalam.

"Iya bawel. kan gue udah janji waktu di rumah sakit kalau gue nggak akan masukin racun lagi ke badan gue. Mulai sekarang gue bakal menjalani hidup yang sehat."

        Gue kembali ke meja dengan wajah tersenyum karena suasana hati gue yang amat baik. Bisa melihat Kak Melfi lagi di kantor tentu saja membuat dopamine di tubuh gue berlipat ganda.

"Gue dukung lo kalau lo mau sama Melfi." Tubuh gue terhentak mendengar ucapan Bang Aldo yang tiba-tiba.

"Gue kenal Melfi udah lima tahun dan gue cukup paham sama dia. Dari cara kalian ngobrol, gue udah paham. Ini cuma soal waktu aja, lo datengnya telat sih."

Gue celingukan, memastikan nggak ada orang yang tiba-tiba datang. "Tapi Melfi nggak ada hubungan apa-apa sama Adrian."

"Karena dia nggak sepenuhnya suka sama Adrian. Gue yakin dia sadar kalau dia nggak cocok sama Adrian, sialnya dia udah terlanjur suka aja."

        Gue baru kembali dari cafe baru yang ada di lobby dengan menenteng satu cup americano dan satu smoothies mangga. Gue baru sampai depan pantry, mendengar suara dari orang yang gue cari, gue pun memasuki ruangan itu.

"Santai aja lagi, magh gue juga kambuh hari itu. Mungkin kalau kita jadi jalan yang ada malah ngerepotin lo"

Begitu memasuki pantry, gue langsung tahu pada siapa kalimat itu tertuju.

"Nih sebagai permintaan maaf gue."Adrian meletakkan satu cup ice coffee di meja tepat di hadapan Kak Melfi. Gue melangkahkan kaki dengan cepat, mengambil kopi yang baru saja Adrian letakkan dan menggantinya dengan smoothies mangga yang gue bawa.

"Gue yakin Kak Melfi udah maafin lo, tapi sayangnya dia nggak bisa minum kopi." Gue menarik tangan Adrian dan mengembalikan kopi itu padanya. "Ayo kak!" Seru gue pada Kak Melfi. 

     "Thanks Cil, gue duluan!" Seru Kak melfi begitu sampai di lantai tiga sambil melepaskan genggaman tangannya dari tangan gue. APA?? JADI DARI LANTAI SATU SAMPAI LANTAI TIGA KAMI GANDENGAN?? 

Sumpah! Gue nggak sadar sama sekali kalau dia ngga melepaskan genggamannya. Gue reflek! Duh, bakal ada gosip aeh-aneh nggak ya soal gue dan Kak Melfi? Gue takut hal itu bikin Kak Melfi ngga nyaman.

Bang Aldo pun tersenyum menyadari kedatangan gue dan Kak Melfi. "Bang jangan mikir kemana-mana, gue bisa jelasin." Kata gue buru-buru sebelum dia seenak jidat membuat kesimpulan sendiri. "Santai aja, nggak usah panik. Kayak abis kegap mesum aja lo." Gue tertawa.

"Jordy, coba cek cctv ruang arsip deh, Kayaknya ada masalah sama sambungannya." 

Gue bergegas setelah berlagak memberi hormat pada Bang Aldo. Ruang arsip letaknya ada di dekat pantry, ketika melewati pantry gue bisa melihat Adrian masih berbincang dengan Nida dan beberapa karyawati lain.

"Kalau bukan karena lo nanti malem ngajak Melfi ke toko buku, dia nggak akan nolak ajakan gue." Gue hampir mengabaikan suara itu, tapi buru-buru menyadari kalau ucapan itu ditujukan untuk gue karena di ruangan itu hanya ada gue dan si pembicara.

"Maksudnya gimana bang?" Tanya gue pada Adrian, dia berdiri di dekat rak yang berisi dokumen-dokumen milik HR.

"Gue tahu Melfi kuliah di jurusan yang sama kayak lo tapi klasik banget kalo lo deketin Melfi sok bawa-bawa minta saran buat buku mata kuliah lo."

Demi Tuhan gue nggak paham apa yang dari tadi dia ocehin. Gue tahu Melfi dulu kuliah di jurusan yang sama seperti gue sekarang tapi gue nggak pernah sekalipun minta saran soal buku apalagi sampe minta temenin beli buku, gue bukan bocah yang PDKT pake cara kuno begitu!

"Lo suka sama Melfi, ya? Gue lihat-lihat makin hari makin deket aja."

Sejak kalimat pertama gue dengar, posisi gue masih berdiri di atas tangga membelakangi pria itu tapi kini gue nggak tahan lagi untuk nggak menghampiri orang itu. 

"Sorry bang, bukan urusan lo gue deket sama siapa, dan bukan salah gue juga kalau emang Melfi nolak ajakan lo. Yang pasti kalau emang dia mau sama lo, dia nggak bakal nolak ajakan lo. Apalagi cuma karena janji sama orang nggak penting kayak gue." 

Entah janji yang mana tapi gue merasa harus mengatakan itu. Gue nggak mau berkelahi apalagi masih di tempat dan jam kerja jadi gue keluar dari ruang arsip sebelum menemukan penyebab cctvnya bermasalah.

Cil, sorry tadi Adrian ngajak jalan lagi, tapi gue nolak dia dengan bawa-bawa nama lo. Gue bilang mau anter lo ke toko buku. Nanti semisal dia basa-basi ke lo, lo iya in aja ya. Sekali lagi sorry

Gue membuka chat dari Kak Melfi begitu gue sampai ke ruangan. Gue tersenyum. Entah kenapa gue seneng dia 'pake' nama gue sebagai tameng terhadap cowok brengsek itu.

      "Nyokap gue kesel terus geledah seluruh sudut kos gue setelah gue keluar dari rumah sakit. Dan lo tahu apa, dia buang semua stok kopi gue terus gue bilang kalau bukan kopi itu yang bikin gue masuk rumah sakit tapi malah dia bilang gue ngelawan mulu kalau dibilangin haha"

Gue duduk di kursi bar di cafe dekat lobby sambil menyimak cerita Melfi soal nyokapnya yang marah besar pas tahu dia masuk rumah sakit gara-gara minum kopi.

"Ya lo nggak salah sih sebenernya, karena yang bikin lo msuk rumah sakit kan kopi di cafe ini bukan kopi di kos lo." Gue mengatakannya sambil tertawa, tidak habis fikir cewek yang duduk di samping gue masih memancing ibunya untuk bercanda padahal sedang diomelin habis-habisan.

"Ya kan? Gue bener kan? haha " tawanya makin lebar. Gue merasa atmosfer di sekitar gue berubah hangat dan rinagn saat mendengar tawa itu.

"Bisa-bisa nyokap lo nyegel cafe ini kalo tahu penyebabnya adalah kopi dari sini."

Dia mengambil ponsel, memencet-mencet layarnya lalu mendekatkan mulutnya ke layar,

"Mah sebenernya aku masuk rumah sakit gara-gara-"

gue buru-buru mengambil ponsel itu dan saat gue sadar kalau layar ponselnya terkunci, Kak Melfi semakin tertawa terbahak-bahak.

"Lucu banget sih lo, lagian kalau gue beneran ngomong ke nyokap gue mana mungkin nyokap gue nyegel ini cafe?"

Aahh! Please Tuhan, gue ingin selalu seperti ini. Gue ingin selalu melihat dia tertawa secerah ini, gue ingin selalu mendengar segala jenis bentuk candaanya. Gue bersedia mendengarkan semua ceritanya. Di suasana yang sehangat ini, tiba-tiba saja muncul sedikit keberanian di diri gue. Bolehkah, bolehkah gue mengatakannya? tapi gue takut, gue takut dia nolak dan malah jadi asing. Tapi perasaan di dada gue rasanya sudah bertumpah ruah.

"Lo juga lucu banget sih, kalo diluar sana ada cewek yang lucunya kayak lo gini, kira-kira dia mau nggak ya jadi cewek gue?"

Gue memilih untuk tidak mengatakannya secara gamblang tapi sekarang setidaknya dia tahu kalau gue tertarik sama cewek seperti dia, dan kalau memang dia punya perasaan yang sama kayak gue, dia pasti mengerti maksud gue.

"Kenapa harus cari diluar sana kalau didalam sini juga ada orangnya?" 

Dia mengatakannya sambil tersenyum dengan tatapan menembus jendela. Setengah tidak percaya tapi gue tahu cara bicara Kak Melfi kali ini nggak bercanda sama sekali.

"Kak, lo.." gue bingung sama apa yang akan gue katakan.

"Apa? Lo nggak akan langsung ajak gue merried, kan? Kelarin dulu kuliah lo, kejar mimpi-mimpi lo, gue nggak mau lo-"

Gue mendaratkan telunjuk di bibirnya dan membuat kalimatnya terputus. 

"Bawel!"

Gue memeluknya lalu meninggalkan kecupan di keningnya.

Komentar

Postingan Populer