A cigarette
Suasana hatiku sedang bagus hari ini.
Pertama, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai B pada mata kuliah sosiologi,
kedua, saluran air apartemenku sudah selesai dibetulkan sehingga aku tidak
perlu menumpang pada pemilik apartemen setiap kali ingin pergi ke toilet,
ketiga, aku mendapat bonus dari pekerjaan paruh waktuku, dan terakhir, aku
melihat salju pertama turun semalam. Rokok di tanganku sudah habis tapi Makoto
– Pria yang sejak tadi aku tunggu belum juga muncul. Kami tidak membuat janji
untuk bertemu tapi biasanya pria itu selalu muncul pada waktu ini di sini – tangga
darurat lantai tiga. Aku membuang putung rokok dan memutuskan untuk membeli
sebungkus lagi di minimarket depan kampus untuk persediaan.
“Bukankah kau teman Makoto?” Seorang
pria didepanku menoleh ke belakang saat kami sama-sama sedang antre di depan
kasir. Aku tidak tahu nama pria itu tapi aku ingat ia pernah beberapa kali
berbincang dengan Makoto saat keduanya tidak sengaja bertemu di tangga darurat
lantai tiga.
Aku mengangguk.
“Aku kira kau akan mengantar Makoto ke
bandara.”
Aku masih tidak mengerti. Bandara?
Bukankah minggu lalu pria itu baru saja dari Okinawa untuk bertemu dengan salah
satu penerbit? Atau dia pergi ke
Hokkaido? Tidak, tidak. Dia tidak mungkin mengunjungi neneknya, kemarin dia
baru saja mengatakan kalau neneknya sedang berkunjung ke rumahnya untuk
beberapa hari ke depan.
Selagi isi kepalaku masih menebak-nebak
segala kemungkinan kemana perginya Makoto, pria di depanku berkata lagi,
“Sepertinya Makoto lupa memberitahumu kalau rencana emigrasinya ke korea
dipercepat. Pesawatnya lepas landas pukul 14.10. Aku memberitahumu untuk
berjaga-jaga barangkali kau ingin menemuinya.”
Aku bergeming.
Ingatanku meraih soal Makoto yang
pernah mengatakan padaku mengenai rencananya beremigrasi ke Korea menyusul
kedua orang tuanya. Tapi aku tidak punya ingatan kalau Makoto pernah mengatakan
padaku kapan ia akan berangkat ke Korea.
Aku sudah kembali ke tangga darurat
lantai tiga dengan rokok yang sudah kusulut. Aku menghisapnya dan mengeluarkan
asapnya dengan pelan. Korea. Sejauh apa negara itu? Apakah pria itu akan
kembali lagi kesini? Apakah aku masih bisa melihatnya lagi disini suatu saat
nanti? Lalu, apa yang aku lakukan sekarang? Tidak ada yang akan datang meski
aku menunggunya sampai matahari terbenam. Tunggu, seharusnya suasana hatiku
sedang bagus hari ini tapi kenapa tiba-tiba dadaku terasa sesak?
Aku masih bersandar di
salah satu sudut di dekat tangga, kakiku terus bergerak-gerak karena gelisah.
Kalau tidak ada hambatan, aku membutuhkan waktu setidaknya lima puluh menit
untuk sampai bandara. Waktu yang sangat sempit mengingat sekarang sudah pukul
12.55. Tapi apakah tindakanku ini tidak berlebihan? Aku dan Makoto tidak
memiliki hubungan apapun. Kami tidak lebih dari sekedar dua orang asing yang
tidak sengaja berbincang karena bertemu di tempat dan waktu yang sama. Disisi
lain, aku ingin menemuinya sekali lagi, setidaknya untuk terakhir kalinya.
Pertemuan – pertemuan antara aku dan Makoto tidak satupun terencana. Semuanya
terjadi begitu saja. Bisa dibilang, Makoto tidak pernah benar-benar ingin
bertemu denganku. Begitupun yang seharusnya pria itu rasakan. Jadi, kalau
sekarang aku sengaja pergi menemuinya ke bandara bukankah itu terdengar
berlebihan?
Persetan! Aku tidak punya
banyak waktu. Aku hanya perlu bergegas pergi ke bandara, kalau nanti
sesampainya disana aku masih berfikir bahwa tindakanku ini berlebihan, aku
hanya tidak perlu menemuinya, kan? Tapi kalau aku memutuskan untuk tidak ke
bandara lalu kemudian mulai berfikir kalau seharusnya aku menemuinya bukankah
itu jauh lebih merepotkan? Setidaknya itulah dasar keputusanku.
Aku sudah ada di dalam
taxi, pandanganku yang menembus kaca jendela membawa pikiranku melayang pada
pertemuanku dengan Makoto untuk pertama kalinya. Aku sedang bersandar di salah
satu sudut tangga darurat lantai tiga setahun silam, lalu pria itu tiba-tiba
megambil rokok dari bibirku sebelum aku berhasil menyulutkan api di bagian
ujungnya.
“Aku akan menggantikannya
besok” lalu diikuti gerakan bersandar di sampingku. Ia meminta pemantik lalu
menghisap rokok itu. Kami mulai berbincang soal banyak hal, dari hal paling
absurd sampai nilai-nilai kehidupan yang kalau diingat-ingat beberapa
perkataannya terkadang ada benarnya juga. Misalnya saat dia bilang,
“Wanita selalu unggul di
salah satu aspek, jika dia pintar maka dia tidak cantik, jika dia cantik maka
dia tidak pintar.” Saat itu tawaku tergelak. IPK ku tidak lebih dari 2,2 tapi
wajahku biasa-biasa saja. Namun belakangan, aku merasa lebih cantik dari
biasanya.
Ia juga pernah berkata,
"Punya tujuan hidup yang besar memang bagus. Tapi memiliki tujuan hidup
untuk hal-hal kecil juga tidak buruk. Tujuan hidupku sesepele aku ingin
menyelesaikan halaman-demi halaman mangaku. Tidak peduli apakah orang-orang
akan menyukainya atau tidak, aku hanya ingin menyelesaikannya."
Makoto tidak pernah bosan
dengan manga-manganya yang banyak perbaikan dari penerbit atau kritik dari
pembaca. ia menikmatinya. Lalu tanpa sadar aku mengadaptasi pemikiran itu pada
versi hidupku sendiri. Menyelesaikan rutinitas harianku dan sesekali mendengar
atasanku mengomel, misalnya. Hal kecil lainnya yang jadi tujuanku adalah
berbincang seperti ini dengan Makoto.
Pada suatu hari aku mendapati pria itu
sudah di tempat yang sama sambil menghisap rokok. Aku mengambil benda itu –
melakukan hal yang sama yang ia lakukan pada hari pertama kami bertemu.
“Waktunya membayar hutangmu” aku
menyeringai. Aku belum sempat menghisap benda itu, Makoto menahan tanganku lalu
mendaratkan kecupannya dengan tiba-tiba di bibirku. Aku bisa merasakan aroma
tembakau dari bibirnya tanpa perlu menghisap rokok yang ada di sela-sela
jariku.
“Siapa bilang aku akan membayar
Yuuka-chan dengan rokok juga?” balasnya kemudian, ia merebut putung rokok dari
jariku.
Hal itu terjadi bulan lalu tapi rasanya
seperti baru terjadi kemarin. Aku tidak menyadari perasaanku dan ciuman
tiba-tiba itu seolah meyakinkanku. Kemudian aku bisa dengan jelas merasakan
kalau kampus ini terasa sepi saat aku membayangkan tidak bisa bertemu dengannya lagi di tangga darurat lantai tiga.
Aku hampir tidak punya tujuan apapun
selain mengikuti alur kehidupan yang membosankan. Bangun tidur, pergi ke
kampus, bekerja bekerja paruh waktu dan kembali tidur. Kehadiran Makoto
membuatku memiliki tujuan kecil. Aku bisa membicarakan segala hal yang biasanya
hanya bersarang di kepalaku, aku juga bisa mendengarkan ide-idenya yang menarik
mengenai manga yang sedang ia kerjakan. Orang lain akan mengira kami hanya sekedar
berbincang, tapi aku merasa seperti Makoto sedang berbagi kehidupannya
denganku.
Aku bisa dengan jelas merasakan kalau
aku ingin bertemu pria itu. Aku hanya ingin bertemu pria itu setidaknya sekali
lagi karena aku yakin tidak akan menemukan pria itu lagi di salah satu sudut
tangga darurat lantai tiga dan di sudut manapun di seluruh jepang ini. Perasaan
ingin bertemu ini semakin kuat saat Gedung bandara sudah di depan mata.
Aku memasuki lobby bandara, berlari
menuju terminal internasional yang tidak begitu ramai karena sekarang bukan
musim liburan. Aku tidak melihat antrian penumpang pada gate di ujung sana, jam
di ponselku menunjukkan pukul 14.17.
Aku terlambat.
"Makoto." Tadinya aku
berharap bisa memanggil nama itu seperti biasa di tangga darurat lantai tiga
hari ini bukan sebagai gumaman percuma seperti sekarang. Aku sudah sampai sini,
lalu apa? Aku mulai menyesal tidak pernah bertanya kapan pria itu pergi ke
Korea, aku menyesal tidak pernah meminta kontaknya, aku menyesal tidak
menyadari perasaanku lebih cepat. Kalau saja aku bisa memutar waktu sampai
kemarin dan menyadari kalau itu adalah pertemuan terakhir kami, aku ingin
mengatakan kalau aku selalu menunggunya setiap hari di kampus, aku ingin
mengatakan kalau dia adalah orang pertama yang menjadi tujuanku, bahkan aku
ingin mengatakan kalau aku sudah mencintainya entah sejak kapan. Ada banyak hal
yang ingin aku katakan pada Makoto. Bukan sekedar kalimat pengantar kepergian,
tapi aku ingin mengatakan segenap perasaanku. Aku ingin melepas Makoto dengan
pelukan yang sudah sejak lama ingin aku bagi dengannya. Aku tidak harus menjadi
siapa-siapa untuk mengatakan apa yang aku rasakan, kan? aku tetap bisa memeluk
Makoto meski kami bukan apa-apa, kan?
Aku sudah menghabiskan dua
batang rokok di smoking room, pandanganku tertuju pada pintu masuk lobby sambil berharap gadis yang aku tunggu akan datang. Aku mengutuk diriku habis-habisan
dalam hati, bagaimana mungkin gadis itu akan datang kalau aku tidak pernah
memberitahunya kalau aku akan pergi hari ini? Lagi pula, kami hanya dua orang
asing yang tidak sengaja selalu bertemu di tempat dan waktu yang sama. Meskipun kalau dipikir-pikir akulah yang memulainya. Kami
tidak pernah berinteraksi di luar area tangga darurat lantai tiga – tempat
biasa kami tidak sengaja bertemu. Tempat itu seolah sudah mengutuk kami kalau
hanya disanalah kami berinteraksi menjadi diri masing-masing.
Setahun lalu aku tidak sengaja melihatnya sedang berdiri di salah satu sudut tangga
darurat lantai tiga, aku memberanikan diri untuk memulai interaksi dengannya. Aku
mengambil putung rokok dari bibirnya yang belum sempat ia sulut api. Sejak saat
itulah kami mulai sering berbincang.
Aku
mengeluarkan sebatang rokok yang di salah satu ujungnya terdapat bekas
lipstick, rokok setahun lalu yang aku rebut dari Yuuka-chan - gadis yang aku tunggu sejak tadi. Gadis itu tidak
menyadari kalau aku memasukkan rokoknya ke sakuku dan menukarnya dengan rokokku
lain sebelum aku meminjam pemantik padanya. Aku sudah menyukainya sejak SMA
tapi sepertinya gadis itu bahkan tidak sadar kalau kami dari sekolah yang sama.
Dia bukan gadis yang menonjol di kelas, dia juga tidak banyak bicara tapi aku tahu dia
punya senyum yang manis. Setahun terakhir di kampus adalah masa-masa
‘keemasanku’ karena akhirnya aku bisa melihat senyumnya setiap hari.
Aku
senang bisa mendengar gadis itu berbicara banyak hal tapi aku lupa memikirkan
perasaan gadis itu. Apakah dia memiliki perasaan yang sama? Atau apakah dia
menyadari perasaanku?
Untuk
mengetahui hal itu, aku pernah mengecup bibir Yuuka-chan tiba-tiba saat
momentumnya tepat. Tapi belakangan, tidak ada yang berubah dengan hubunganku dan
Yuuka-chan. Gadis itu bersikap seolah tidak terjadi apapun. Aku pun meyimpulkan
kalau hanya aku yang cinta sendirian.
Aku
menyulut rokok Yuuka-chan dan menghisapnya. Rokok terakhirku hari ini. Dadaku
terasa sesak sejak pagi. Kukira aku bisa pergi begitu saja tanpa memikirkan
Yuuka-chan. Aku tidak bisa bertemu gadis itu lagi di jam makan siang, aku tidak
bisa mendengar cerita-ceritanya lagi, aku tidak bisa melihat senyumnya lagi,
semua hal itu membuat pikiranku kalut. Aku menyesal tidak mengatakan perasaanku
secara jujur. Aku menyesal tidak berpamitan dengannya hari ini. Kalau saja aku
menyempatkan diri datang ke kampus dan memeluknya mungkin dadaku tidak sesesak
ini.
“Bodoh!”
kutukku sekali lagi pada diri sendiri saat menyadari kami bahkan tidak bertukar
kontak.
Rokok
terakhirku sudah habis. Aku membuangnya ke tempat sampah lalu berjalan menuju
gate yang di kanan kirinya berdiri petugas bandara.
Aku tidak
tahu bagaimaa ceritaku dan Yuuka-chan selanjutnya, tapi kalau suatu saat aku
kembali ke Jepang dan bertemu dengan Yuuka-chan lagi, aku berjanji akan
mengatakan segalanya sambil memeluk gadis itu erat-erat.
Komentar
Posting Komentar