Aku siapa?
Ini apa? Aku siapa?
Serupa tanya itu mungkin berputar-putar di kepalamu. Apakah surat iseng belaka? Atau surat cinta tak bertuan? Bagiku ini lebih dari apa yang kau kira. Siapa aku kau tak perlu tahu. Bahkan sebenarnya kau tak perlu tahu seluruh isi tulisan ini.
Aku satu dari masa lalumu yang tak pernah kau jamah. Bukan, bukan cinta masa lalumu. Saat itu, aku yang cinta sendirian. Bahkan hingga saat ini pun begitu. Kau mungkin sekedar mengenal wajahku. Namaku? Kau tidak perlu mengetahui nama orang yang bahkan tak perlu kau panggil, bukan? Belasan tahun tak lantas membuat rasaku memudar. Kau seperti candu bagiku. Aku tak bisa berhenti setelah sekali jatuh hati padamu.
Di antara kita seperti dibatasi oleh dinding tebal yang menjulang meski saling berhadapan. Rasanya kau tak akan mendengar suaraku meski aku berteriak. Jika dengar pun, akankah kau menoleh padaku? Aku selalu berakhir diam tak bicara. Bersembunyi dalam ruang hampa disana. Aku tak tahu bagaimana rasaku akan sampai? Jalan mana yang akan kutempuh?
Belasan tahun tidak membuat rinduku sirna. Ia semakin menggebu agar segera tersampaikan. Kau tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang yang sudah dimiliki orang lain? Jatuh cinta sendirian sudah cukup menyiksaku, kini aku harus merasa berdosa juga tiap kali mengingatmu.
Belasan tahun aku coba untuk lupa. Aku menjauh dari segala perihal kamu, tapi semakin jauh semakin ingin hanya padamu aku berlabuh. Aku membiarkan rembulan berlalu dengan asaku yang menguap setiap hari. Terkadang ia menerbangkanku hingga aku lupa mendarat. Terkadang lagi ia membuatku terhempas ke dalam lautan tak berujung. Diterpa ombak kegelisahan, dikoyak angin kehampaan. Kau ingin tahu bagaimana aku saat itu? Aku lusuh, berantakan, dan kesakitan oleh perasaanku sendiri.
Lalu bagaimana aku saat ini? Aku tetaplah aku. Dengan kerumitan yang aku bawa sejak belasan tahun silam. Apakah rinduku tersampaikan? Apakah canduku terlepaskan? Entahlah. Aku sudah mencoba segenap yang kubisa. Aku tak mengapa jika kau masih tak mengerti. Meski kau pemicunya, tetap aku yang memulainya sendiri. Maka aku pula yang harus mengehentikannya, bukan? Rinduku ini mungkin hanya tersisa gaungan samar yang entah dijangkau telingamu atau tidak. Kuharap yang memilikimu, memiliki cinta yang melebihi aku. Kuharap, yang kelak memilikiku, bisa menyadari perasaanku melebihi kamu.
Aku terkesan, kau mau membaca tulisan ini sampai akhir meski kau tak dapat apapun. Apakah tanyamu terjawab? Kau tidak perlu mengingat-ingat wajah yang kau abaikan dulu. Meski mungkin akan menjawab rasa ingin tahumu, toh tak ada keuntungan yang kau dapat, bukan? Biarkan saja begitu. Kau hanya perlu membuang ini dan melanjutkan hidupmu. Aku juga melanjutkan hidupku sambil terus berjuang melupakanmu.
Si penulis sepertinya sudah menelan banyak buku cinta dan kisah sedih, atau jangan jangan ini kisah pelik si penulis sendiri?, hmmm rasanya begitu dekat
BalasHapusAku terlalu antagonis untuk jadi protagonis ditulisanku sendiri.
Hapus