Sepotong kue
Malam natal selalu meriah di Tokyo. Lampu-lampu saling berkelap-kelip. Hiasan natal tergantung di sepanjang jalan. Orang-orang saling berkumpul, bersenang-senang. Diantara kerumunan itu aku menyibak keramaian. Aku tidak peduli pada butir-butir salju yang hinggap di long coat hijau tuaku. Pun tak peduli pada sepatu boots hitam setengah betisku yang meninggalkan jejak di antara salju yang berserakan.
"Jangan keluar sendirian di malam natal. Jika iya, aku akan marah!"
Aku membuka pintu cafe dan duduk di salah satu bangku di sana. Mungkin aku satu-satunya pengunjung yang datang sendiri. aku bisa saja kesana dengan temanku, atau mengajak adikku. Tapi malam ini aku ingin sendirian. Sejauh ini penyembuhan paling ampuh dari kerinduan terhadap seseorang adalah menyendiri.
"Selain Roti melon, kau juga suka Choco Vanilla? Lihat! Selera kita cocok sekali!"
aku memesan choco Vanilla hangat. Kemudian kembali menikmati pemandangan diluar dari dalam jendela. Saat sendiri begini, aku justru merasa hingar bingar di sekitar tidak menggangguku sama sekali. Melihat tawa orang-orang di luar sana, membuatku berfikir apakah tawa itu benar-benar jujur? Aku pernah tertawa seperti itu saat hatiku sedang hancur-hancurnya.
"Aku senang melihatmu tertawa."
Kita tidak boleh menilai sesuatu hanya dari luarnya saja, bukan? Mungkin kau melihat seseorang hanya meneteskan air mata, tanpa kau tahu luka dihatinya bahkan bisa membuatmu tenggelam disana. Lalu bolehkah kita menyalahkan orang lain atas kesedihan yang kita rasakan? Atau bahkan menyalahkan diri sendiri? Bagiku kesedihan datang karena takdir. Tidak, tidak. Aku tidak sedang menyalahkan Tuhan. Lagipula tidak semua takdir menyedihkan, kan? Kau mungkin sudah berusaha hidup sebaik mungkin, tapi saat takdir menyuruhmu jatuh maka kau akan jatuh. Jatuh yang bagaimana? Bagiku tidak ada jatuh yang menyenangkan. Jatuh cinta sekalipun.
"Baiklah. Aku akan berswafoto denganmu. Tapi jangan kau upload di akun SNSmu ya"
Seorang pelayan datang, ia meletakkan pesananku sembari tersenyum. Apakah ia bahagia lantas tersenyum? Ataukah ia menutupi sesuatu? Satu yang kutahu. Ia dibayar untuk bekerja - senyum itu termasuk jobdesk baginya. Tidak semua senyum menggambarkan perasaan seseorang. Aku bisa tersenyum bagaimana pun perasaan hatiku. Meski terkadang, aku lebih suka tersenyum karena sesuatu membuatku bahagia.
Aku menyesap minumanku, menikmati kehangatan pada tiap-tiap tegukan. Aku cukup terkejut bisa setenang ini. jauh lebih baik dari tahun lalu yang bahkan untuk duduk disini sendiri pun aku masih menangisi seseorang. Apakah waktu membuatku berangsur pulih? Atau aku hanya sudah ikhlas pada semuanya?
Seseorang pernah memintaku untuk tinggal, tapi tidak pernah memintaku untuk jadi satu-satunya. Ia sudah mempunyai satu hati lalu memohon meminta hatiku? Saat itu, takdir sedang menjatuhkanku. Aku jatuh hati pada seseorang yang hatinya bahkan tidak bisa kumiliki seutuhnya. Kau tidak bisa menyamakan hati dengan kue yang bisa kau potong lalu kau bagikan pada siapapun yang kau mau. Sekali kau memberikannya pada orang lain, kau harus memberikannya dengan utuh.
"Maukah kau disini saja?"
Semua manusia punya tujuan. Untuk menggapainya, kau harus melangkah. Hanya kau dan aku saja yang tak kemana-mana. Tujuanmu bukan padaku, kan? Sebab itu kau tak pernah mengajakku beranjak kemana pun. Saat kelak kau mencapai tujuanmu, lalu aku kau apakan? Membiarkanku begitu saja dengan harapan-harapan yang juga ikut pupus seperginya kamu? Aku tahu tidak akan menjadi yang paling berarti meskipun aku melakukan yang paling kubisa. Aku memilih menjadi yang lebih dulu pergi agar kau terkesan aku biarkan. Aku memilih seolah aku punya tujuan pada yang lain, meski sebenarnya aku baru saja pergi dari tujuanku.
"Kau boleh kembali padaku kapanpun kau mau."
Menurutmu, apa yang paling berat setelah kepergian? Kenangan atau rindu? Bagiku, Rasa ingin kembali. Apalagi jika kau seolah masih memberiku ruang untuk kusinggahi lagi. Aku seperti tak bisa melepaskan diri darimu, kau hanya memanjangkan tali yang mengekangku.Tapi apakah kembali padamu membuatku lebih baik? Meski kesakitan, pergi darimu tetap pilihan terbaikku.
Aku mungkin masih mengingatmu. Mengingat beberapa kata yang kau ucapkan padaku. Aku mungkin butuh waktu seumur hidup untuk benar-benar melupakanmu. Jika kau fikir aku akan terus meratapi ini, kau salah. Aku bahkan sudah baik-baik saja saat meminum choco vanilla di cafe ini meski tanpamu. Aku tentu saja masih mengingatmu, tapi tidak disertai dengan perasaan sakit atau semacamnya. Aku bahkan menikmati waktuku. Aku tak menyangkal jika sesekali ingatan tentangmu datang tiba-tiba. Ia datang, tapi sudah tak sejelas setahun silam. Bagiku, ia hanya potongan-potongan potret buram yang tak perlu aku pedulikan.
Setiap orang punya cerita. Ada cerita sedih, ada cerita bahagia. Kau pernah menjadi cerita bahagiaku, kemudian menjelma menjadi cerita sedihku. Cerita itu sudah selesai, sedihnya pun sudah usai. Kau hanya bagian dari masalalu yang terkadang hanya perlu ku syukuri. Aku bersyukur, bisa belajar tentang keikhlasan karenamu. Kau akan tetap kuingat sebagai sosok yang mendewasakanku. Kuharap kelak, seseorang akan menerima hatimu secara utuh. Seutuh kamu menerima hatiku, dulu.
Monolog yang apik :) pergolakan batin sibtokoh dipatahkan dengan kata kata manis, 2 jempol untuk author
BalasHapusTerimakasih suhu atas komentarnya. Ditunggu jejaknya di tulisanku yg lain 🤭
HapusEmang gak enak yaa ada di posisi cewek itu....
BalasHapus